Catatanku

Jumat, 22 November 2013

Roti Isi Kacang

“Roti Isi Kacang”
Oleh   : Aris Rizka Fauzi
Beberapa hari ini, Reno sering menjauh dari teman-temannya. Ia sekarang lebih senang menghabiskan waktu istirahat di dalam kelas sambil menyantap roti isi kacang kesukaannya.
Di lain pihak, teman-temannya sedang sibuk membantu Tony untuk ‘pdkt’ dengan seorang perempuan yang ditaksir olehnya. Tony adalah teman masa kecil Reno, kelas mereka berdua bersebelahan. Karena Reno sekarang jarang berkumpul dengan teman-temannya, maka ia pun tidak tahu tentang Tony dan perempuan yang disukainya tersebut. Ia hanya tahu bahwa sekarang Tony sedang menyukai seseorang karena ia pernah diajak bergabung untuk membantu ‘tetangganya’ itu mendapatkan gadis yang sedang diincar olehnya. Namun, Reno tidak ikut serta dalam rencana teman-temannya tersebut. Reno punya alasan tertentu.
“Kalo dia bisa dapetin gebetannya, kenapa gue enggak? Gue juga sekarang lagi pdkt sama dia,” ucap Reno dalam hati sambil melirik Laila, teman sekelasnya yang ia sukai. Dialah alasan mengapa ia sekarang sering berada di kelas dan tidak ikut serta membantu Tony.
“Ren, keluar, dong! Lo di kelas terus dari tadi, kumpul bareng kita, dong!” ajak Tony dari balik jendela. Sebenarnya ia ingin minta bantuan kepada Reno untuk lebih dekat dengan perempuan yang disukainya itu.
“Iya, nanti gue gabung, kok. Gue lagi sibuk, nih.”
“Gak asik, ah! Sekarang lu mainnya sama cewek terus.”
“Serius, gue masih ada tugas yang belum selesai. Makanya gue minta bantuan sama anak-anak cewek,” itu hanya modus.
Reno tidak tahu bahwa sebenarnya Tony melihat kedekatannya dengan Laila akhir – akhir ini. Ia pun tidak mengetahui gadis mana yang sedang ditaksir oleh Tony. Walaupun mereka berteman sejak kecil, tapi mereka jarang membicarakan hal yang bersifat pribadi.
***
“Hallo... ini Reno?” terdengar suara perempuan dari ujung telepon ketika Reno mengangkat telepon genggamnya.
Reno diam sesaat karena tidak mengenal nomor telepon tersebut. Ia pun akhirnya menjawab, “Iya, ini siapa?”
“Masa gak kenal, sih? Haha...”
“Mmm... Laila?” jawab Reno sedikit ragu.
“Iyaa...! Kamu hebaaatt...! Kok, kamu bisa tahu, gimana caranya?”
“Bisa, dong! Mana mungkin aku lupa suara kamu? Kita kan sekelas, sering ngobrol bareng lagi. Ada apa? Kangen, ya?”
“Ihh... GR banget kamu! Tapi emang bener, sih... hehe”
Reno tak melepas ponsel itu dari telinganya sampai hampir satu jam. Mereka berdua bercakap-cakap dengan sangat akrab, seperti pasangan jarak jauh yang akhirnya bisa berkomunikasi kembali setelah sekian lama. Bedanya, mereka baru berpisah sepulang sekolah tadi siang, dan mereka bukan sepasang kekasih. Ia menunggu Laila yang mengakhiri percakapan itu karena ia merasa sangat senang bisa mengobrol dengan Laila malam itu, walau hanya di telepon.
***
 Akhirnya waktu istirahat kali ini Reno keluar dari kelasnya. Ia tampak seperti beruang yang baru keluar dari gua persembunyiannya setelah berhibernasi begitu lama. Tidak berbeda jauh seperti beruang itu, ia juga sekarang hendak mencari makanan. Tujuannya tentu saja kantin.
Tampak siluet seseorang di pojok kantin dekat bungkusan-bungkusan roti isi kacang yang baru datang siang ini, Reno mengenalinya, ia adalah Tony.
“Hei, ngapain lu duduk di sini sendirian?” tanya Reno yang kemudian duduk di samping Tony sembari membuka bungkus roti isi kacang yang baru saja ia beli.
“Widiihh... si beruang akhirnya keluar juga. Lagi nunggu pesanan, dari tadi belum datang juga.”
“Gimana kabar lu sama gebetan lu yang misterius itu? Hehe..” tanya Reno sedikit tertawa.
“Misterius apanya? Lu aja yang kurang up to date, hahaha..” kali ini tawa Tony yang lebih lebar mengalahkan tawa Reno sebelumnya. Ia senang bahwa Reno ternyata belum tahu siapa perempuan yang disukainya.
“Iya, deh...” jawab Reno singkat.
”Nah.. ini dia burger pesanan gue. Akhirnya datang juga,” sambil menaruh burger  itu di depan roti isi kacang milik Reno. Seakan telah dimulai pertarungan antara roti isi kacang vs ‘roti isi daging’.
“Kalo gue sih udah makin deket sama gebetan gue, tinggal nembak aja,” Reno tersenyum yakin.
“Ya sudah, kalo nanti kita udah jadian sama gebetan masing-masing, kita double date aja, gimana?”, Tony seakan menantang Reno.
“Oke, siip...”
***
          Sudah dua malam Reno tidak SMS-an atau mengobrol lewat telepon dengan Laila seperti biasanya. Entah mengapa, Laila akhir-akhir ini agak sedikit menjauh darinya. Terakhir ia mengobrol lewat telepon, Reno mengatakan bahwa ia suka kepada Laila. Sebelum Laila mengatakan sesuatu, tiba-tiba Reno bilang bahwa ia hanya sekedar bercanda dan langsung tertawa tanpa menghiraukan respon apa yang akan diberikan oleh Laila.
Padahal, Laila sudah menunggu hal itu sejak lama. Ia menyimpan harapan besar bahwa Reno, mempunyai perasaan yang lebih dari sekedar teman biasa kepadanya. Namun, setelah percakapan itu, Laila merasa perasaannya sudah dipermainkan selama ini olehnya. Sebenarnya, Reno tidak ingin menyatakan perasaannya pada saat itu. Ia ingin menunggu momen yang lebih tepat agar Laila tidak melupakan saat itu.
Bel pulang telah berbunyi dari tadi. Laila sedang duduk di bangku taman dekat halaman sekolah. Reno lalu menghampiri Laila.
“Hei, kamu kok jarang bales SMS aku, sih? Aku telepon juga tak pernah diangkat.”
“Memangnya ada hal penting apa yang ingin kamu bicarakan? Kalo sekarang, aku lagi sibuk,” kata Laila dengan sedikit sinis. Ia masih kecewa dengan Reno yang menyatakan suka kepadanya, tetapi ia malah meralat pernyataan itu. Sekarang, Reno hanyalah teman biasa baginya. Laila mencoba untuk melupakan perasaannya kepada Reno, lelaki yang memberinya harapan, namun palsu.
“Aku mau minta maaf soal tempo hari. Waktu itu aku bilang aku bercanda bahwa aku menyukaimu. Sebenarnya, aku memang benar-benar menyukaimu.”
“Lalu, kenapa waktu itu─”
“Aku takut! Aku takut perasaanmu hanya sebatas teman denganku! Tetapi, kali ini aku tak peduli apapun jawabanmu. Aku suka kamu, Laila!” Reno memotong sebelum Laila selesai bertanya.
Laila kaget dengan apa yang didengarnya barusan. Ternyata perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Reno memang menyukainya! Namun, hal itu sudah tidak berarti lagi baginya. “Maaf, aku tak bisa. Kamu terlambat. Maafkan aku!”
“Aku kira kamu juga─”
“Iya, itu dulu! Sebelum kamu melontarkan lelucon yang sama sekali tak lucu bagiku!” matanya terlihat berkaca-kaca. Ia sedih dan kecewa.
“Maaf, aku memang bodoh. Ya, aku terlalu bodoh,” Reno tampak begitu putus asa. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sambil mencoba tersenyum, ia memberikannya kepada gadis yang telah membuatnya patah hati itu. “Aku hanya ingin menunggu saat yang istimewa untuk menyatakan perasaanku kepadamu. Tapi, aku harap kamu masih mau untuk menerima benda ini. Selamat ulang tahun, Laila!”
Laila terkejut, ia bahkan lupa hari ini hari ulang tahunnya. Sambil mengusap air mata, ia pun menerima hadiah itu dengan perlahan, sebuah kado yang dibungkus kurang rapi berbentuk kotak yang tidak begitu besar.
“Buat apa kamu menunggu saat istimewa untuk mengungkapkan perasaan, jika saat itu kamu bisa melakukannya? Bagiku, setiap saat akan terasa istimewa setelah aku tahu kepastian darimu, kepastian bahwa kamu juga menyukaiku.”
Mereka berdua diam membisu. Sore itu pun menjadi hening.
“Hei, rupanya kamu di sini! Maaf aku terlambat. Selamat ulang tahun!” tiba-tiba seseorang datang dari arah belakang. Ia membawa bunga dan sekotak cokelat, dipelukannya ada sebuah boneka beruang berwarna merah muda. “Eh, ada kamu juga, Ren?”
“Ehh─” Reno tak menyangka bahwa Tony akan muncul di saat seperti ini.
“Kenalkan, ini pacarku,” kata Laila sambil menarik Tony duduk di sampingnya.
“Ka-kami sudah kenal, kok.”
“Iya, Reno dan aku sudah berteman sejak kecil,” sambung Tony sambil duduk di sebelah Laila di sisi yang lain. “Oh ya, mana pacar barumu? Sekarang, kita bisa double date, nih!” seru Tony dengan bersemangat tanpa tahu apa yang telah terjadi barusan.
“Dia menolakku, mungkin lain kali saja,” ia menatap Laila yang terlihat begitu merasa bersalah.
“Ahh, nanti gue bantu nyari yang lain, deh!” hibur Tony.
“Ton, ayo kita pulang! Udah sore,” ajak Laila tidak sabar. Mereka berdua lalu berpamitan.
“Iya, kalian duluan saja. Selamat ya buat kalian berdua!”
Thanks, Ren! Duluan, ya!” sahut Tony sambil meninggalkan Reno.
Sore itu, ia melihat sepasang kekasih yang berjalan berdua meninggalkan dirinya yang masih duduk di bangku taman. Seorang dari mereka adalah sahabat masa kecilnya, dan seorang lagi adalah gadis yang pernah ia sukai, mungkin juga masih disukainya. Ia tak pernah menyangka bahwa selama ini Laila adalah orang yang disukai oleh Tony. Tony lebih berani tentang perasaannya, ia menyatakan perasaannya kepada Laila di saat Laila tak mendapat kepastian yang jelas dari Reno. Tentu saja Laila tak ingin menyakiti perasaan orang yang telah menyatakan isi hatinya dengan tulus kepadanya demi menunggu harapan yang tak pasti dari orang lain. Laila pun menerima Tony. Mungkin itulah alasan mengapa Laila menjauh dari Reno.
Reno sungguh menyesal telah melakukan hal bodoh, melewatkan kesempatan besar yang mungkin tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya.
“Aku memang pengecut! Aku hanya roti isi kacang yang menyimpan ‘isinya’ di dalam, mana mungkin orang bisa tahu apa sebenarnya yang ada di dalam roti ini? Beda dengan ‘roti isi daging’, ia berani memperlihatkan ‘isinya’ sehingga orang tahu ada apa di dalamnya,” ia bergumam di dalam hati menyesali perbuatannya dan mengakui kekalahannya dari Tony, si ‘roti isi daging’─burger.
Bayangan mereka telah hilang, yang ada hanya warna merah di langit sore dan matahari yang akan segera tenggelam. Ia berdiri dari bangku dan hendak meninggalkan taman itu. Sesuatu terjatuh, kotak kecil yang terlihat lebih besar karena bayangannya yang memanjang. Rupanya, Laila lupa membawa hadiah dari Reno. Kadonya tak mungkin terlihat di balik boneka besar dan beberapa tangkai bunga mawar itu. Ia mengambil kado itu, isinya adalah sesuatu yang ia buat sendiri. Reno ingin menyimpannya, ia ingin menjadikannya sebuah kenangan bahwa ia pernah menyukai seseorang dengan sangat tulus. Setelah kejadian itu, ia tak ingin mengulangi kesalahannya lagi dan berusaha menjadi lebih berani untuk mengungkapkan perasaannya, meski ia masih mengharapkan Laila jauh di hati kecilnya.

Karena berharap itu wajar. Kita hanya tinggal mewujudkan harapan itu. Jika sulit untuk terwujud, buatlah harapan baru dan coba lagi untuk mewujudkannya. Tak perlu menunggu momen istimewa itu datang, buatlah setiap saat itu istimewa. Karena setiap momen dalam hidup ini adalah istimewa.

2 komentar: