Bawalah Terbang Ikan Ini
Oleh : Aris Rizka Fauzi
Aku mulai menjalani
kehidupanku sebagai siswa SMA. Banyak kenangan indah yang telah kulalui bersama
teman-temanku sewaktu masih di SMP, dan itu semua masih kuingat. Ya tentu saja,
baru sebulan yang lalu aku lulus. Aku kini bergabung dengan sekolah baru dan
teman baru, hanya saja ada sesuatu yang masih lama.
Ujian
akhir semester 1 sudah kulewati, maka tibalah libur panjang. “Horeee…!”, itulah
teriakan histeris anak SMA jaman sekarang. Seolah-olah mereka memiliki radar
khusus di telinga mereka, hal sekecil apapun yang berkaitan dengan kata ‘libur’
akan sampai ke telinga mereka dengan cepat, mendahului speaker merk TOA yang
terpasang dekat lapang upacara ataupun speaker-speaker kecil di setiap kelas.
Entahlah, itu masih menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan hingga saat
ini.
***
Beberapa
teman SMP-ku sepakat untuk mengadakan reuni kecil-kecilan di salah
satu villa milik temanku. Karena acaranya mendadak, maka yang hadir pun tidak
terlalu banyak.
Setelah
melewati jalan yang cukup berliku-liku dan disusul oleh tanjakan dan turunan,
akhirnya terlihatlah sebuah villa kecil yang dikelilingi oleh kolam ikan yang
tidak terlalu dalam.
Kami
saling bercerita mengenai sekolah kami sekarang. Maklum saja, setelah lulus
dari SMP banyak yang melanjutkan ke sekolah yang berbeda-beda. Selagi mereka
asyik mengobrol, diam-diam aku memperhatikan seseorang di antara mereka.
Namanya Bunga. Kami bisa dibilang teman yang cukup dekat, sampai perpisahan
memisahkan kedekatan itu.
Aku
sudah lama memiliki ketertarikan kepadanya, yang lebih dari sekedar teman dekat
tentunya. Aku mencoba untuk mengajaknya mengobrol saat kami membersihkan lantai
kayu yang sudah seperti terhalang oleh karpet debu.
“Hey,
udah lama kita gak ketemu. Kangen, gak? Hehe..”
“Mmm..
kangen nggak, ya…?”, jawab Bunga sambil menatapku.
“Eh,
ikut aku, yuk! Kita lihat-lihat ikan di sebelah sana”, ajakku sembari menarik
tangannya.
Kami
mengobrol cukup lama, ternyata ia masih sama seperti dulu. Selain wajahnya yang
cantik, senyum manisnya pun tak berubah.
***
“Woy!
Ngapain kalian di sini? Cepet bantuin yang lain buat nyiapin makanan, udah
laper, nih!”, kata Dion cerewet.
Dion
adalah temanku yang memiliki villa ini. Badannya cukup besar, ia juga bisa
dibilang cerewet untuk ukuran anak laki-laki.
“Iya,
tunggu sebentar!”
“Yuk,
ah! Kita bantuin aja, takut kita gak dikasih jatah buat makan sama dia”, sahut
Bunga sambil tertawa.
***
Setelah
kami selesai makan – makan, sudah tidak asing lagi, kegiatan berfoto pun
menjadi tak terlewatkan. Berbagai pose ala model professional diperagakan oleh
beberapa temanku yang ikut berfoto di atas batu besar dekat sungai kecil tidak
jauh dari kolam.
Sambil
melihat mereka dari atas villa, aku pun memperhatikan Bunga yang saat itu juga
masih berada di atas villa. Apakah ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan
perasaanku selama ini? Apa aku perlu berteriak pada ikan-ikan di kolam untuk
menyampaikan isi hatiku ini padanya? Jelas itu tidak mungkin. Selain pasti
terdengar oleh semua orang, belum tentu juga ikan-ikan itu mengerti bahasaku,
karena dari pengamatanku sepertinya mereka menggunakan bahasa ikan.
Perlahan
aku berjalan ke arahnya dengan agak gugup. Tiba – tiba Anggi menghampiri Bunga
lebih dulu daripada aku.
“Ciee..
gimana kabar kamu sama dia? Kok, gak diajak ke sini?”, tanya Anggi kepada Bunga
tentang seseorang.
Saat
mendengar itu, aku langsung menghentikan langkahku. Seketika perasaanku bagaikan
bercermin di atas mangkuk yang berisi bubur, sungguh tak karuan.
“Ah..
gak pa-pa nggak diajak juga! Hehe..”, jawab Bunga dengan malu-malu.
Dan
setelah itu aku tak mengobrol dengan Bunga lagi, aku justru malah menghindar
darinya.
“Ngapain
diem aja di sini?”, tanya Dion.
“Emh..
kamu tau tentang Bunga?”, tanyaku penasaran.
“Oh,
iya, kamu pasti belum tau. Dia udah punya pacar sekarang, sebelumnya ia masih
nungguin kamu, lho”, jelas Dion.
“Maksudnya?”,
aku tak percaya dengan apa yang kudengar.
“Sebenarnya
dia udah suka sama kamu dari dulu, cuma… besok traktir bubur, ya! Haha..”
Ah,
dasar! Di saat seperti ini ia masih memikirkan isi perutnya, padahal di sini
ada yang terluka isi hatinya.
“Ah,
lanjutin dulu yang tadi!”, paksaku sedikit kesal.
Beberapa
lama aku mendengarkan apa yang diceritakan Dion kepadaku, aku tak tahu harus
bagaimana. Senang karena Bunga sebenarnya sudah suka kepadaku dari dulu hingga
sekarang, atau kecewa karena ia telah bersama dengan yang lain?
Seiring
dengan langkahku meninggalkan villa itu, pertanyaan demi pertanyaan muncul di
hatiku seperti kepala ikan-ikan yang muncul di permukaan air yang sedang
menikmati sisa makanan tadi. Jika ia masih suka kepadaku, kenapa kini ia
bersama orang lain?
***
Acara
reuni telah selesai, tiba waktunya untuk pulang dan kembali melewati jalan
mengerikan yang telah kami lewati tadi. Ketika melewati batu besar tempat ‘para
model’ berpose, tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah pohon yang terukirkan
sesuatu. Aku mendekatinya dan kuperhatikan tulisan yang terukir di pohon
tersebut.
Dari
depan Anggi berteriak, “Bunga yang membuatnya…!”, sambil tersenyum dan
melanjutkan perjalanan pulang.
Betapa
terkejutnya aku, ternyata ada ukiran namaku dan namanya di pohon itu. Di
sela-sela cabang pohon terselip sebuah bunga yang indah dan harum, terbayang di
depanku sedang berdiri ‘bunga yang sesungguhnya’, yaitu Bunga.
Aku
terdiam cukup lama di depan pohon itu, setidaknya sampai datang seorang anak
kecil mengganggu ketakjubanku pada ukiran itu.
“Kok,
mukanya bengong gitu, sih? Kayak ikan lagi mangap aja. Haha..”, sambil berlari
mengejekku.
Dengan
perasaan kaget dan malu, aku juga langsung berlari. Bukan untuk mengejar anak
itu, tapi untuk menyusul teman-temanku yang sudah meninggalkanku dari tadi.
***
Pagi
ini aku lari pagi bersama Dion sekaligus hendak membayar janjiku kepadanya,
yaitu mentraktirnya semangkuk bubur yang belum tentu cukup untuk dia.
“Hai,
kalian lari pagi juga, ya?”, kata Bunga menghampiri kami berdua.
“Iya.
Kamu sendirian aja? Kemana Anggi?”, tanyaku sambil berjalan dengan Bunga
meninggalkan Dion yang sedang asyik dengan buburnya.
“Teman-temanku
yang lain udah pulang barusan. Kita istirahat di sini dulu, yuk!”, mengajakku
duduk di sampingnya.
“Kamu
masih inget sama janji kamu ke aku, gak?”
“Janji
apa, ya?”, aku bingung sambil mengingat-ingat.
“Itu,
lho. Katanya kamu mau ngasih aku kejutan, tapi akhirnya kita keburu lulus dan
beda sekolah kayak gini. Sekarang aja, dong!”, senyumnya muncul menutupi
matanya yang terlihat sedih.
Aku
lupa akan hal itu. Aku memang berencana untuk mengungkapkan perasaanku padanya,
tapi untuk saat ini jelas tak mungkin. Ia sudah bersama orang lain. Namun, jika
bukan saat ini, kapan lagi?
“Jujur,
sebenarnya aku sudah suka kamu dari dulu. Tapi, aku juga tak ingin merusak
hubungan kamu dengannya, seharusnya aku lebih berani waktu itu sebelum
kesempatan itu hilang diambil orang”, sambil melihat burung yang terbang di
atas kami berdua.
“Hah?
Benarkah? Aku sebenarnya tidak ingin menjalani hubungan ini, aku menerimanya
karena desakan beberapa temanku. Aku lebih memilih menantimu!”, perkataannya
itu justru malah membuat aku terkejut, bukan sebaliknya.
Aku
tak tahu apa yang harus aku katakan lagi kepadanya, bibirku hanya bisa
mangap-mangap seperti ikan yang kehabisan air. Lama kami terdiam.
Tiba-tiba
terasa hangat kurasakan di atas kepalaku, aku baru sadar bahwa burung tadi
menjatuhkan kotorannya sambil terbang menyusul kawanannya. Gelak tawa muncul
memecah kesunyian di pagi itu, aku dan dia akhirnya bisa tertawa lepas bagaikan
burung yang terbang tadi.
Aku
sadar bahwa burung tadi harus melepas semua yang menjadi bebannya untuk terbang
lebih tinggi dan menyusul kawanannya yang sudah jauh di depan. Sama seperti
itu, aku juga harus melupakan perasaanku kepada Bunga. Aku tidak boleh terus
mengikatkan hatiku pada pohon yang berukirkan namaku dan namanya jika ingin
terbang bebas dan mencapai tempat seharusnya aku berada saat ini.
Benar
kata Dion, "Kepastian yang belum jelas akan menghasilkan sebuah penantian, dan menantikan sebuah kepastian yang tak pasti itu melelahkan, dan berhentinya sebuah penantian karena terlalu lelah untuk menunggu."
***
Malam ini adalah malam terakhir di tahun ini. Aku berusaha meninggalkan semua hal di masa lalu yang dapat membatasiku untuk maju terus ke depan. Bagaikan ikan yang dibawa terbang oleh burung ke langit luas, meninggalkan kolam yang membatasi hidupnya selama ini, namun tetap membawa sedikit air agar ia bisa bernapas dan dapat terus mengingat dari mana ia berasal.
Inilah aku sekarang, dengan tahun yang baru, sekolah baru, teman baru, semangat baru, harapan baru, dan sedikit kenangan lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar