Karya : Aris Rizka Fauzi
***
Jam dinding menunjukkan
pukul 06.40, aku pun berangkat ke sekolah. Dengan seragam yang rapih dan wangi,
aku berjalan dengan santai sekali.
“Hey, kamu sudah
ulangan Matematika belum?”, tanyaku kepada Romi yang baru turun dari angkutan
umum.
“Belum, nanti minggu
depan. Memangnya kenapa?”
“Oh, ternyata belum.
Padahal, aku ingin bertanya materi apa saja yang keluar,” aku merasa sedikit
kecewa karena hari ini aku ada ulangan Matematika.
“Lalu, tugas membuat
puisi bagaimana? Apa puisimu sudah dinilai?”, tanya Romi saat melewati pintu
gerbang.
“Aduh, aku lupa! Hari
ini dikumpulkan, tapi aku belum mengerjakannya,” sambil menuju ke kelasku
dengan terburu-buru.
“Woy, mau kemana
kamu?”, teriak Romi karena tiba-tiba aku meninggalkannya.
***
Terlihat sepi sekali di
tempat teman-temanku biasa berkumpul. Ketika aku masuk ke kelas, ternyata
banyak juga yang belum selesai mengerjakan tugas itu.
“Za, tugas puisi sudah
belum?” tanya salah seorang temanku.
“Belum, aku baru akan
mengerjakannya,” sambil menyiapkan alat tulis.
Aku bingung harus
menulis apa, teman-temanku yang lain sudah hampir selesai. Bel masuk sebentar
lagi berbunyi, meskipun belum menulis apa-apa aku masih santai dan tenang,
itulah sifatku.
Tiba-tiba, aku teringat
ketika hendak menuju kelas, aku sempat menabrak seseorang dan hampir membuatnya
jatuh. Untung saja aku segera memegang tangannya sebelum ia terjatuh. Wajahnya
cantik sekali, kulitnya putih, dan saat aku meminta maaf kepadanya ia hanya
tersenyum saja. Karena kejadian itu, aku mendapat inspirasi untuk membuat sebuah puisi. Dengan membayangkan
wajah dan senyuman manisnya, aku menulis dengan lancar sekali.
Beberapa saat kemudian,
bel masuk pun berbunyi. Puisi singkat dalam waktu yang mendesak pun telah ku
selesaikan. Dari kejauhan aku melihat Bu Indri sedang menuju ke kelasku, beliau
adalah guru Bahasa Indonesia.
Setelah selesai membaca
do’a, Bu Indri menyuruh semuanya untuk mengumpulkan tugas puisi masing-masing ke depan.
Satu per satu
teman-temanku mengumpulkannya, aku pun segera meletakkan buku tulisku di atas
tumpukan itu. Beberapa menit kemudian, aku dipanggil ke depan.
“Puisimu bagus sekali,
apakah puisi ini untuk seseorang?”, tanya Bu Indri sambil tersenyum.
“Oh, bukan, Bu.”,
jawabku singkat sambil tersenyum kembali.
Sebenarnya puisi itu
hanya ungkapan perasaanku saja, tetapi memang inspirasi puisiku itu berasal
dari seseorang. Walaupun dibuat hanya dalam beberapa menit saja, namun aku
mendapat nilai yang bagus.
***
Saat aku pergi ke
kantin untuk membeli minuman kesukaanku, ternyata minuman itu hanya tinggal
satu. Aku pun hendak mengambilnya, tanpa sengaja aku memegang tangan murid
perempuan yang tidak sengaja ku tabrak tadi pagi karena ia juga hendak
mengambil minuman yang sama denganku.
“Eh, kamu yang tadi
hampir jatuh, kan?”
“Iya, memangnya kenapa
kamu tadi terburu-buru seperti itu?”, sambil tersenyum kepadaku.
“Hehe.. nggak, kok.
Boleh kenalan, gak?”, aku bertanya dengan sedikit malu-malu.
“Boleh, namaku Linda.
Nama kamu siapa?”
“Namaku Reza. Oh ya,
minuman ini untuk kamu saja,” ku letakkan minuman itu di tangannya.
Walaupun awalnya sedikit
ragu, tapi akhirnya Linda pun mau menerima minuman itu. Ia terlihat senang ketika hendak menuju ke
kelasnya.
Hari ini aku bertemu
dengannya dua kali secara tidak sengaja, namun kali ini aku tahu siapa dia,
namanya Linda.
***
“Rom, tunggu dulu!”,
teriakku sebelum Romi melewati pintu gerbang sekolah.
Romi pun menengok dan
menungguku dekat pintu gerbang. Ia terlihat bingung karena biasanya kami jarang
pulang bersama dan kali ini aku menyuruhnya untuk menungguku.
“Ada apa, nih?”,
tanyanya heran.
“Nggak, aku cuma lagi
seneng aja. Hehe..”
“Oh, aku tahu. Pasti
karena Linda, kan?”, kata Romi dengan yakin.
“Kok, kamu tahu? Aku
kan belum cerita?”, tanyaku kaget.
Setelah Romi
menjelaskan, aku pun baru tahu kalau Linda adalah teman sekelasnya. Linda sudah
bercerita kepada Romi bahwa aku dan dia sudah berkenalan di kantin pada waktu
istirahat.
“Kenapa kamu tidak
pernah memberitahuku soal Linda?”, aku sedikit kesal.
“Ya soalnya kamu belum
pernah bertanya, sih.. hehe..”
“Terus kamu punya no.
HP dia, gak?”
“Nanti aku kirim saja
lewat SMS!”, jawabnya singkat karena hendak naik angkutan umum.
***
Sore harinya aku baru
mendapat SMS dari Romi. Di dalamnya berisi no. HP Linda, aku segera
menyimpannya dan berterima kasih kepada Romi.
Ingin sekali aku segera
mengirim SMS kepada Linda, tetapi aku takut dia sedang sibuk atau tidak ingin
diganggu. Saat aku masih bimbang, tiba-tiba Linda mengirim SMS kepadaku. Aku pun
kaget mengapa ia bisa tahu no. HP milikku dan mengirim SMS untukku. Namun, aku
juga senang sekali karena hal tersebut.
“Hey, kata Romi kamu
minta no. HP aku, ya?”, saat aku baca SMS darinya.
“Iya, aku ingin lebih
kenal sama kamu.. hehe..”, balasku kepada Linda.
Hampir satu jam lamanya
aku dan Linda saling mengirim SMS. Ternyata ia orangnya baik dan mudah akrab,
terlihat dari kata-katanya pada pesan singkat seperti yang sudah kenal lama.
Setelah cukup banyak
saling bertanya, tidak aku sangka bahwa aku dan dia ternyata banyak sekali
kesamaan. Mulai dari makanan kesukaan masing-masing, acara televisi yang sedang
ditonton, bahkan sampai warna baju yang sedang dipakai saat itu pun sama pula.
Linda mempunyai
beberapa komik yang bagus dan cukup seru. Saat aku ingin meminjam salah satu
dari komiknya, ia memintaku untuk membuatkannya sebuah puisi. Kebetulan sekali,
sebelum mengenalnya aku telah membuat sebuah puisi yang terinspirasi olehnya,
terutama senyumannya.
***
Pagi ini aku mencoba
berangkat lebih pagi dari biasanya. Saat aku melewati pertigaan jalan, aku
mendengar ada seseorang yang memanggilku.
“Hey, Reza! Tunggu
aku!”, kata Linda tidak terlalu jauh di belakangku.
“Eh, kamu ternyata. Ini
puisi yang aku janjikan,” sambil memberikan puisi yang telah aku salin itu
dalam selembar kertas.
“Terima kasih, ya. Aku
juga mau memberikan buku komik ini.”
“Terima kasih juga.”,
dengan senang hati aku menerima buku itu.
“Nanti kita ngobrol di
kantin, ya!”
Linda pun berjalan
lebih dulu karena hari ini ia ada tugas piket di kelasnya.
***
Ketika di kelas, aku
tidak sabar menunggu waktu istirahat tiba. Aku merasa ada yang aneh dengan
perasaanku. Apakah aku sedang menyukai seseorang? Apakah aku suka kepada
Linda?, tanyaku sendiri di dalam hati.
Aku pun sudah menunggu
di kantin sekolah dengan gelisah. Aku berharap ia menyukai puisi yang ku
berikan kepadanya, tulisannya sudah ku buat dengan sedemikian rupa sehingga
terlihat bagus. Tidak lama kemudian, Linda pun duduk di sampingku. Dia ternyata
sangat menyukai puisi dariku, saat mengatakan itu ia terlihat senang dan
senyumnya yang manis pun muncul di bibirnya.
Beberapa menit kami
mengobrol, aku pun ingin jujur tentang perasaanku kepadanya, meskipun belum
lama kami saling mengenal.
“Mmmh.. sebenarnya aku,
aku.. Aku suka sama kamu, Linda.”, dengan gugup aku bicara.
“Bernarkah? Aku juga
sebenarnya sudah mulai menyukaimu, Reza. Kamu orangnya baik dan menyenangkan,
selain itu kita juga punya banyak kesamaan.”
“Lalu, kita sekarang
bagaimana?”, malu-malu aku menanyakannya.
Saat Linda mengatakan
bahwa ia juga menyukaiku, jantungku berdegup kencang. Hatiku senang sekali dan
merasa belum percaya dengan apa yang ku dengar.
Setelah terdiam
beberapa saat, Linda pun menjawab.
“Aku rasa, kita
berteman dulu saja. Lebih baik kita menjadi sahabat daripada langsung
berpacaran, kita juga kan masih
sekolah. Kamu tidak kecewa, kan?”
“Jika menurutmu lebih
baik seperti itu, aku pun setuju saja. Aku juga senang kita masih bisa jadi
sahabat, sahabat yang lebih dari sahabat,” meskipun ada rasa kecewa sedikit,
aku merasa itu yang terbaik, aku pun tersenyum kepadanya.
Akhirnya, aku dan Linda
menjadi sahabat yang dekat sekali. Berawal dari puisi, kantin sekolah, lalu
menjadi sebuah persahabatan.
wuih cerpennya (y)
BalasHapushaha, imajinasi :D
BalasHapus